Kamis, 24 April 2008

berikan aku cinta hingga aku memikirkanmu

Cinta Sesaat atau Cinta Sahabat……..,

By Aat Royhatudin

Mula senja pukul Tiga, acara sudah dimulai, berkumpul, bercanda: hal yang penting bagi manusia sebagai pilihan ketika mengalami penekanan, kepenatan diawali dengan kepenatan diakhir dengan keceriaan melalui sebuah permainan itulah workshop yang diharapkan.

Waktu tidak terasa malam pun tiba – tiba seorang wanita yang berbeda, beda dengan wanita lain yang ada, seketika itu dia mendekat, mendekat bukan ingin mendapat cinta dan perhatian, mendekat karena tidak ada pilihan. Kenal saling menganal adalah kewajiban peserta karena intruksi panitia.

“Aku ingin mengenalnya segera” itulah khayalanku seketika, dekat tanpa disengaja, aku langsung memandangnya dengan segera kuulurkan tangan

“Hana” itulah jawabannya. Langsung terpikir, dipikiranku nama itu cukup manis dimilikinya, manis senyumnya, manis dipandang-Nya.

******

Pagi harinya, menunggu.ditunggu itu agendaku, menunggu kapan acara dimulai biar aku leluasa menikmati indahnya panorama, panorama yang penuh bunga-bunga yang berbeda warna. Warna ku suka ternyata banyak kumbang yang menghampirinya. Mungkin kumbang yang satu mendekat, hanya sekedar menghisap madunya saja, setelah itu pergi entah kemana. Mungkin juga kumbang yang satu ini ingin menikmati seperti yang lainnya, namun tak kuasa karena ingin menjadi kumbang pilihan, pilihan semua bunga yang selalu ditunggu dinanti, apalagi diterima.

”Ah itu hanya bayangan dan khayalanku saja yang terlalu mengada-ada.” Pikiranku sejenak yang hanya bisa memandang kearah dimana dia selalu ada.

“Heh pagi-pagi sudah melamun” tanya sahabat dekat.

“Eh kamu ka “seketika sambil tanganku memukul pelan.

“Ayolah sarapan” kata si taka balik bertanya .tanpa menghirau lamunanku

“Yah udah duluan aja “jawaban ku segera yang seharusnya kamu tahu apa yang selama ini aku pikirkan. “tapi itu tidak mungkin” pikiranku menerawang.

“Eh melamun lagi, kaya ga ada pekerjaan aja, pagi-pagi itu bagusnya sarapan dan” tanyanya sambil meyakinkan bahwa sarapan pagi ala sunda memang cukup nikmat dan lezat.

“Ya udah duluan aja “sepontan jawabku sambil marah-marah karena sudah menghancurkan khayalanku yang sudah tertata rapih dan hampir selesai. Bagai mana tidak marah, ibarat lukisan yang sudah hampir jadi, tinggal dinikmati, namun hancur tak berarti dan tak memiliki arti seni lagi.

Mancoba untuk bersabar, menunggu yang keluar, “bukankah dia seharusnya yang keluar ?” pikiranku sejenak. Mata tak lagi memberi tujuan kucoba pandanganku dialihkan, sehingga makanan lezat dan nikmat yang tersedia tak mampu menggoda dan itu dianggap biasa. Inikah yang dinamakan jatuh cinta?

“Dan ternyata makanan ala sunda enak juga yah” kata-kata enak di setiap makanan tak luput dari mulutnya.

“Ka kira-kira si Hana sarapan pagi engga yah” tanyaku pada Taka tanpa menghiraukan pujian makanan, meski sedikit merasa ada kekhawatiran

“kayaknya kamu mulai khawatir nih”timpal Taka seakan tahu apa maksud hatiku.

“biasa aja kali” menyembunyikan perasaanku sambil menahan nafas.

“Menahan nafas adalah sebagai tanda bukti akibat sebuah kumpulan angin yang dihembuskan dari dalam akibat dari bentuk kemunafikan”.petuah sahabat dekat yang tidak lama lagi akan menjadi calon pandita (pemimpin taruna agama Budha)

Terlihat jelas, sahabat, teman dekat, adalah kecintaan murni yang melekat tanpa melihat perbedaan dan sekat. Kehadiran workshop bertemakan menjalin persaudaraan antar lintas iman memberikan arti dan nilai luhur manusia kepada manusia lainnya. Dialog antar iman memiliki manfaat yang cukup signifikan, disatu sisi adalah tempat-tempat, pertemuan, penginapan memberikan kehidupan, keakraban, keindahan dalam persaudaraan, di sisi lain waktu-waktu pagi, siang, sore, malam mampu menyuguhkan ikatan emosional, pencerahan intelektual, dan kekuatan spiritual.

“Jangan terlalu dipikirkan, kan masih ada beberapa hari untuk tetap berusaha” Sahut Taka memotivasi penuh dengan teka-teki.

“inilah yang aku pikirkan”

“hari itu hari dimana memberi kamu hidup indah, tenang dan senang”kata calon Pandita sambil bersajak dan beranjak keluar.

Makanya yang aku pikirkan saat ini, bagaimana hari itu adalah hari terbesar dan tidak akan terlupakan”khayalku sambil membayangkan dengan mata pikiran yang kosong.

“eh agenda hari ini apa yah?”Tanya taka menghancurkan lamunanku seketika.

“hari ini dialog antar agama tentang pluralisme”jawabku sedikit kesal sambil mempersiapkan secarik kertas kosong.

“tapi sessi pertama dulu atuh, masalah budaya local, gimana sih ko bisa lupa. Kamukan termasuk orang yang serius mengikuti acara ini” sambut Taka yang cukup perhatian karena masih dalam satu kelompok.

Ya..ya… yaaah. Budaya local adalah bagian sikap dan pikiranku. Sikap dan pikiranku inilah bagian yang terkecil dari budaya local Banten. “bagaimana sikap aku mencintai?,bagaimana pikiranku ketika berpikir” masih melanjutkan khayalan cintanya.

“Ah dasar kamu Dan, lagi kasmaran yah” sampai-sampai budaya local saja dibawa ke urusan cinta”.

Oh iya, orang Banten ketika urusan cinta itu jujur dan berani”

“Ah itu menurut kamu, belum tentu yang lainnya seperti kamu” jawab Taka masih belum yakin dan seperti tidak menerima.

Bersambung…………………………

perempuan dalam peradaban

PEREMPUAN DALAM PERADABAN

Oleh : Aat Royhatudin*

Hari Kartini merupakan hari di mana perempuan Indonesia merasa diagungkan dan dihormati keberadaannya, seolah disakralkan. Perempuan kadang menghiasi diskusi dan perbincangan, dulu dan sampai saat ini. Pemaknaan perempuan bukan hanya dari sisi eksistensi atau tubuh saja namun lebih luas keberadaannya dikontekstualisasikan dalam kehidupannya. Perempuan dulu, saat ini, dan yang akan datang adalah tetap tidak ada dalam pembedaan, pembedaan yang ada adalah peradaban.

Dunia perempuan dalam Peradaban jahiliyah merupakan korban kebiadaban karena ketidakberdayaan, posisi direndahkan, dan hak hidup ditiadakan. Yunani yang terkenal dengan para filosofnya, popular dengan ilmu pengetahuannya, menghargai tinggi dengan peradabannya, jauh sebelum kedatangan Islam, perempuan dalam kehidupannya sangat direndahkan.

Beberapa peradaban yang pernah ada di dunia berpandangan berbeda-beda tentang perempuan. Tapi mengacu pada satu titik, yaitu 'pelecehan dan penghinaan' terhadap perempuan. Memandang perempuan dengan begitu keji dan hina. Perempuan yang subur akan dirampas dari suaminya untuk laki-laki lain demi kepentingan angkatan bersenjata. Sedangkan perempuan yang melahirkan bayi yang cacat, mereka akan dihukum mati.

Tidak ada bedanya dengan Yunani, peradaban India pun tak kalah kasar dalam memperlakukan perempuan. Perempuan yang ditinggal mati oleh suaminya harus ikut dibakar hidup-hidup bersama jasad sang suami. Jika dia tidak mau melakukannya, maka dia akan dianggap sampah masyarakat yang lebih hina dari binatang. Begitu pula Negara yang dijadikan rujukan oleh nabi Muhammad sebagai pusat pencarian pengetahuan masih saja menganggap perempuan paling rendah. Pepatah Cina yang dianggap menghilangkan eksistensi perempuan "sepuluh bidadari cantik tidak sebanding dengan seorang laki-laki tua yang bongkok".

Perempuan dalam dunianya memiliki banyak persoalan, mulai dari persoalan kehidupan pribadi seorang perempuan sampai kepada urusan di luar pribadi seorang perempuan, mulai dari masalah domestik sampai ke persoalan dunia international, dari urusan gaya hidup, seks sampai urusan politik masih ada dalam perdebatan.

Perempuan Islam

Konteks Perempuan Islam merupakan bagian bentuk ideal makhluk sempurna dari Tuhan. Perempuan Islam tidak disederhanakan pada konteks perempuan beragama Islam, atau dengan berjilbab, namun jauh lebih dari itu perempuan yang penuh dengan penghargaan terhadap diri sendiri, menjalankan hak hidupnya sesuai dengan syari’at Islam. Sehingga dikatakan oleh filsuf sekaligus sufi, Ibnu ‘Arabi, perempuan merupakan manifestasi Tuhan yang paling sempurna. Kesempurnaan yang dimiliki perempuan karena kemerdekaan dengan kebebasan yang mampu dipertanggungjawabkan di hadapan Tuhan. Kemudian al-Qur’an menyebutnya kedudukan perempuan diatur oleh Allah Swt secara proporsional sesuai dengan fitrah penciptaannya. Perempuan dan laki-laki sama dihadapan Syari'at tanpa ada perbedaan. "Sesungguhnya, laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyu', laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar" (QS. Al-Ahzab: 35).

Perempuan Islam tidaklah hanya pada seputar entitas monolitis. Banyak orang mungkin berpikir bahwa kalimat ini menyatakan sesuatu yang sudah tak perlu diperdebatkan lagi, namun penemuan-penemuan kejanggalan terhadap diri perempuan sering mengakibatkan ketidakadilan. Hal yang nyata, hukum yang tegas, aturan yang tepat sering diintepretasikan sepihak, ketentuan dan ketetapan yang mengandung banyak penafsiran dalam al Qur’an kadang dijadikan alasan untuk berbuat kesewenang-wenangan. Konsep konkrit dan luas yang mereka temui dalam al Qur’an tidak memiliki wujud yang tetap dalam pengejawantahannya dalam kehidupan orang-orang nyata, apalagi konsep yang abstrak, hal tersebut merupakan suatu hal yang tidak dapat dihindari, namun alasan dan motivasi di balik pemaknaan kadang jauh dari tujuannya.

Banyak pula orang beranggapan bahwa seorang perempuan yang tertutup, berjilbab, berkerudung, dan selalu berada di rumah adalah seorang perempuan yang baik, terlepas dari ketertekanan dan keterpaksaan. Pada kenyataannya, cerminan ketidaktahuan yang penuh prasangka terhadap keyakinan perempuan inilah yang menghambat, menghina, dan dalam sebuah lagak kepedulian yang diputarbalikkan dan penuh kemunafikan, justru merendahkan otonomi dan kecerdasan perempuan. Dalam konteks inilah peradaban dipahami, hanya orang-orang yang berilmulah yang takut (takwa) kepada Allah

Perempuan dalam konteks berperadaban memiliki arti luas, termasuk di dalamnya, penegakkan hukum yang adil, penghargaan terhadap ilmu menjadi tradisi keilmuan, dan pelaksanaan hak asasi manusia. Kesadaran seperti inilah orang bisa membangun kebersamaan, toleransi, keilmuan dan sikap saling menghargai

Dalam peradaban, wacana perempuan tidak bisa hanya sebatas diskursus, lebih dari itu diperlukan tindakan konkrit berupa kesiapan untuk menghargai, berekspresi, terutama perempuan itu sendiri dengan sekuat tenaga mempertahankan hidup dan menghargai dirinya sendiri.

Problema perempuan pada saat ini masih diperhadapkan dengan kendala psyikologis dalam hubungan peradaban-meskipun kita sering melihat di Indonesia sebagai bangsa yang toleran, sopan dan baik – namun ada saja berita yang yang menyedihkan salah satu sasarannya adalah perempuan.

Mencermati kemiskinan penghargaan terhadap perempuan, buah dari domestifikasi dan pembagian peran menurut jenis kelamin adalah pemandangan akrab bagi kita. Tidak ada cara lain selain bangkit menuju peradaban dan angkat pena sebagai tradisi dan kebudayaan. Pasalnya, kuatnya ideologi patriarki dalam bingkai peradaban, mesti ada pemikiran berbasis feminis, yang ramah dan menyapa perbedaan.

Adakah pemikir perempuan, sekaligus pejuang? Kalaupun ada itu masih bisa dihitung dengan jari. Untuk bangsa Indonesia masih kecil bila dibandingkan dengan laki-laki. Paling tidak terdapat sederetan tokoh; Kartini, Dewi Sartika, Cut Nyak Din, Musdah Mulya, Ratna Mega Wangi, Gadis Arivia, Zakiyyah Darajat, Hopipah Indah Pawangsa, Dee, Ayu Utami, Djenar Maesa Ayu, dan Nong Darol, dll.

Dengan demikian, mengangkat pena menjadi penting, bahkan sangat erat kaitannya dengan peradaban. Sejumlah orang besar seperti Carlyle, Kant, Mina Bean, Hanna, Fatima Mernissi, Aminah Wadud, Rifat Hasan sangat percaya dan meyakini penemuan tulisan benar-benar telah membentuk peradaban. Perempuan yang berperadaban adalah pilihan yang sangat diharapkan.

 
 
* Pemerhati Perempuan dan sekjend BLC (Banten Learning Centre)

Rabu, 23 April 2008

Pendidikan Yang membebaskan

Pendidikan sering kita pahami hanya pada seputar sekolah-sekolah, madrasah-madrasah, perguruan tinggi dan lain sebagainya. Namun sejatinya, pendidikan memiliki pengertian yang luas.
Dimana pun, kapanpun ketika berkumpul, ngobrol, diskusi itu sebetulnya mengandung arti pendidikan. Saya ingat ketika mengikuti kuliah umum yang disampaikan oleh Aqib Suwito, guru besar UIN Jakarta, bahwa tempat pendidikan yang efektif, mudah dicerna dan sederhana hanya bisa dilakukan “ketika kita ngobrol di warung kopi, dan tempat-tempat yang lainnya,”.hal demikian mengingatkan saya kepada teori public sphere, Jurgen Habermas, bahwa public sphere atau ruang publik merupakan media untuk mengomunikasikan informasi dan juga pandangan. Sebagaimana yang tergambarkan di Inggris dan Prancis, masyarakat bertemu, ngobrol, berdiskusi di warung kopi tentang buku baru yang terbit atau karya seni yang baru diciptakan. Dalam keadaan masyarakat bertemu dan berdebat akan sesuatu secara kritis maka akan terbentuk apa yang disebut dengan masyarakat madani.
Rata-rata kita mengasumsikan tempat atau ruang mengandung arti pendidikan adalah perpustakaan, tempat dimana memilliki aturan dan pengaturan, padahal perpustakaan tak lebih sekumpulan buku-buku yang menawarkan pencerahan dengan men-transfer informasi dari buku ke otak tanpa mengkritisi isi, kalau demikian adanya, apa bedanya dengan sekolah-sekolah, madrasah-madrasah, sekumpulan guru-guru dengan membawa buku-buku.

Keberadaan sekolah-sekolah, madrasah-madrasah, perpustakaan dan yang lainnya merupakan institusi penting sebagai tempat pembelajaran yang terus-menerus, beraturan, yang tanpa disadari kita mesti mengikuti aturan-aturan, tanpa ada kebebasan, kemerdekaan dan jauh dari kecintaan. Dan secara berkesinambungan mampu berjalan dan efektif secara formal dan menurut hemat saya, hal itu tidak lebih didasarkan pada kebutuhan individu masing-masing untuk mendapatkan “sesuatu” atau kepentingan lainnya, misalnya seorang murid atu pelajar datang ke sekolah mengikuti aturan, dan ingin mendapatkan ijazah, setelah itu, selesai. Begitu pun seorang guru atau ustadz membawa buku, mengikuti aturan yang berlaku, mentransfer ilmu, dan mendapatkan sesuatu, dan terus berlanjut. Itukah tujuan pendidikan dan seperti apa tempat pendidikan yang ideal itu?

Summerhill school adalah sekolah allternatif yang membebaskan, yang sebagian orang menganggap adalah sekolah tanpa aturan. AS. Neill orang kali dan pelaku pertama menerapkan system pendidikan yang membebaskan dari sekian lembaga pendidikan di kota Leiston, Suffolk London. Pendidikan untuk saat ini yang dibutuhkan adalah sebuah system dan orientasi yang jelas. Aktivis muda pendidikan, Bahrudin hampir mirip pemikirannya dengan Paulo Freiere dan AS. Neill, bahwa tinggi rendahnya kualitas pendidikan bukan tergantung pada mahal atau murahnya pendidikan pendidikan adalah kebebasan dimana di dalamnya, bisa bermain, belajar, mangkir tanpa ada aturan yang membuat kaku dan beku, karena pada dasarnya manusia itu baik dan tidak jahat, dan paling penting pendidikan harus bersifat partnerlisme, yakni tidak ada jurang pemisah antara guru dan murid. Pendidikan yang membebaskan, menurut saya memberikan hak sepenuhnya untuk mengerjakan sesuatu tanpa harus memaksakan sesuatu dengan kekuasaan tertentu dan membiarkan kesadaran tumbuh dengan sendirinya. Selama ini yang kita lihat adalah bagaimana anak itu harus menjadi dewa-dewa kecil, menjadi pengikut, penurut dan mendapat ijazah atau nilai yang memuaskan? sehingga dengan tak tersadarkan diri kita sudah terjebak pada lingkaran kesadaran magis secara sedernanya ketidakberdayaan dalam membongkar kesalahan sehingga ditutupi dengan cara melupakan, mengajak melupakan masa lalu yang menindas. Sedangkan kesadaran naif menganggap satu sebab hanya menghasilkan satu akibat yang benar, sebagaimana paulo freire menjelaskan.

Pendidikan yang membebaskan
Sedikit menyimpang awalnya dari persoalan karena tidak menerangkan pengertian pendidikan, dalam pendidikan yang membebaskan terlalu sederhana mendiskusikan masalah pengertian pendidikan. Sebagai analogi saja untuk mengawali seperti apa sih pendidikan yang membebaskan itu. Di buku pendidikan alat perlawanan yang ditulis oleh Hanif, dalam pengantarnya KH. Mahfuz Ridwan, Lc., mengatakan bahwa situasi penindasan yang mengungkung suatu masyarakat biasanya bertahan lama ketika agama mulai ditampilkan sebagai alat untuk melegitimasi situasi yang tidak manusiawi. Pesan itu pun kembali disuarakan oleh Muhaimin Iskandar dalam catatan epilognya dengan mengutip pendapat Karl Marx yang mengatakan bahwa agama adalah salah satu bentuk keterasingan manusia dari ketertindasan. Kegagalan agama untuk membawa pembebasan dari ketertindasan itu, telah menyebabkan agama menjadi candu rakyat yang tidak mampu memberikan solusi yang nyata bagi rakyat
Bermula dari analogi itulah untuk menggali kembali hakekat keberagamaan yang seharusnya ditampilkan oleh manusia beragama. Dengan memakai cermin praktek pendidikan yang membebaskan sebagaimana dilakukan oleh Paulo Freire di Brazil pada paruh 1960-an. Menurut Freire, pendidikan di Brazil (dan mungkin masih terjadi sampai kini di banyak negeri, termasuk Indonesia) ketika itu, telah menjadi alat penindasan dari kekuasaan untuk membiarkan rakyat dalam keterbelakangannya dan ketidaksadarannya bahwa ia telah menderita dan tertindas. "Pendidikan gaya Bank", dimana murid menjadi celengan dan guru adalah orang yang menabung, atau memasukkan uang ke celengan adalah gaya pendidikan yang telah melahirkan kontradiksi dalam hubungan guru dengan murid. Lebih lanjut dikatakan, "konsep pendidikan gaya bank juga memeliharanya (kontradiksi tersebut, pen) dan mempertajamnya, sehingga mengakibatkan terjadinya kebekuan berpikir dan tidak munculnya kesadaran kritis pada murid". Murid hanya mendengarkan, mencatat, menghapal dan mengulangi ungkapan-ungkapan yang disampaikan oleh guru, tanpa menyadari dan memahami arti dan makna yang sesungguhnya. Inilah yang disebut Freire sebagai kebudayaan bisu (the culture of silence).
Kesadaran kritis menjadi titik tolak pemikiran pembebasan Freire. Tanpa kesadaran kritis rakyat bahwa mereka sedang ditindas oleh kekuasaan, tak mungkin pembebasan itu dapat dilakukan. Karena itu, konsep pendidikan Freire ditujukan untuk membuka keran kesadaran kritis melalui pendampingan langsung.. Pendidikan pembebasan, menurut Freire adalah pendidikan yang membawa masyarakat dari kondisi "masyarakat kerucut" (submerged society) kepada masyarakat terbuka (open society).
Pendidikan yang membebaskan bukan hanya sekedar diskursus, hanya karena bukan produk Indonesia, hingga masyarakat makin mengkerucut, membeku dan berada semakin membisu. Namun yang krusial adalah bagaimana pendidikan itu bukan lagi menakut-nakuti, menindas, apalagi bersifat militeristik.
Penutup
Pendidikan membebaskan bukan berarti didefinisikan tanpa aturan. Kesepakatan adalah bentukan aturan yang menghasilkan peraturan. Kesepakatan adalah suara yang berharga berdasarkan tanpa berasal dari mana dan ia (suara) berada. Suara professor, suara tukang becak, suara guru, suara murid, suara orang tua, suara anak atau suara-suara yang lainnya yang itu sama dan berharga apabila ia terlibat di dalamnya.
Pendidikan, tempat pendidikan, pendidik dan terdidik adalah sinergi yang tak terpisahkan hingga mampu memberikan kebahagiaan penuh dengna kecintaan, berusaha mencurahkan wawasan dengan segala pengetahuan, dan mengangkat kebebasan tanpa paksaan adalah sebuah proses idealitas menjadi realitas, dari mimpi menjadi terbukti, yang baik menjadi lebih baik.
Pendidikan yang mencerdaskan bukan berarti membebaskan tanpa aturan. Memberikan kebebasan tak diawali dengan kecintaan adalah bukan pilihan untuk mencerdaskan. Pendidikan di Brazil dan Inggris tidak harus dijadikan model sebagai pembelajaran, yang jelas pemberian pengetahuan tanpa didasarkan penindasan inilah yang dimaksud dengan pendidikan yang mencerdaskan.