Senin, 26 Mei 2008

Ayat-ayat cintaku sudah kutemukan



hatiku sudah kutumpahkan
rasa cemaskan sudah kuhilangkan
rinduku sudah sampaikan
rasa kebimbangan kini mulai terkikis habis
oleh kedigjayaan semangat kecintaan

berapa kali kulelahkan hanya karena
cinta ketidakpastian
berapa kali ku korbankan karena
sayang rindu tak kunjung harapan

berapa kali ku berikan
cinta, rindu, sayang yang semula
melebur menjadi satu,

tapi kala itu
angin, badai telah merubah
menjadi berserakan

berserakan, berhamburan,
berkeping-keping menjadi puing-puing
adalah kenyataan bukan khayalan

bersatu, bertaut menjadi larut
adalah kenyataan ingin menjadi harapan. Harapan dan kenyataan adalah keinginan insan yang tidak bisa diperjualbelikan

badai yang membuat berserakan, angin yang menjadikan berhamburan merupakan kekuatan dunia yang bermateri, berada, yang merubah segalanya menjadi nyata

itu, ini, dia, dan kamu, hanya sebuah khayalan masa lalu,

kini mulai terhapus sudah di Mei, Mei adalah kukuatan, Mei adalah keniscayaan, Mei adalah keindahan, Mei adalah kasih sayang yang harus diberikan Mei adalah kekuatanku yang dianugerahkan Tuhan

menjadi kenyataan dan menjadi sebuah harapan, tak luput do’a dipanjatkan memberi arti makna bahwa kehidupan adalah pemberian Tuhan yang harus ditunaikan

malam250508 adalah saksi yang akan menghapus badai yang semula berserakan, malam itu yang akan mengikis habis angin yang awalnya berhamburan. Kumohon mulai saat ini jangan sampai ayat-ayatku berserakan……………

jaha, 27 Mei 2008

reyhayata@yahoo.com

Selasa, 20 Mei 2008

IN MEMORIAN CAK NUR

Mengenang Cak Nur dalam bingkai peradaban*

Cak Nur, pemikir Islam neomodernis dari Indonesia yang banyak diperbincangkan dalam central civitas kampus sebagai intelektual dan masyarakat luas sebagai biang kerusakan akidah dan moralitas Islam. Berusaha ikut mendiskursuskan pemikiran Islam Indonesia di tengah modernitas. Kehadiran cak nur, sebagai pengusung “peradaban” ditengah modernitas adalah gerakan sejak awal digemborkan di civitas kampus kemudian dilanjutkan ketika berhijrah ke Chicago, Amerika Serikat. Kritik dan analisanya yang tajam adalah, suatu metode untuk membaca hakikat kebenaran Islam. Dari sini, Islam berada dan dijelaskan bahwa Islam adalah agama peradaban.

Pemikiran Liberal Lenyapkan ortodoksi Islam

Kentara sekali, pemikiran yang dihasilkan dari kecerdasan Cak Nur, jelas dipengaruhi ketradisian Ibnu Taimiyah yang mengindikasikan pemikiran tasawuf lebih modernis, dan tokoh-tokoh modernis yang diwarnai sekuler dan pluralis.

Jelas, kehebatan Cak Nur sebagai intelektual Muda adalah kelekatannya dengan pemikiran politik dan keislaman di Indonesia. Terlihat pembaharuan dan pemikirannya bersifat sekuler dan plural sesuai dengan perkembangan di Indonesia sehingga karya-karyanya mudah dipahami karena tulisannya yang begitu kental dengan keindonesiaan dan keislaman. Dia adalah pendiri yayasan Paramadina di Jakarta, Indonesia.

Pergumulan dengan keislaman yang bermuara pada kesejukan dan pluralitas melalui analisanya yang kontroversial. Menerjemahkan sekaligus meyakini"Tiada Tuhan selain Tuhan". Adalah dengan tegas menyelamatkan Tuhan yang sebenarnya yang bercampur dengan tuhan-tuhan yang lainnya. Tuhan pada kata yang kedua menggugurkan tuhan yang pertama dan yang lainnya, namun kelompok tekstual lebih memahami dan menganggap sebagai "kejahatan" intelektual dan menyelewengkan makna Islam. Majlis ulama yang hadir sebagai palu penentu terejawantahkan sebagai representasi semua ulama, menjadi ortodoksi adalah menganggap kebenaran yang paling benar dan sepihak tanpa menjelaskn secara substansial itupun bagian dari sempalan maka sempalan itu menjadi sesat, maka kesesatan harus dilenyapkan. Sempalan dan kesesatan merupakan lontaran yang sering keluar dari mulut dan perut ortodoksi Islam

Menurut Martin van Bruinessen, "ortodoksi" dan "sempalan" bukan konsep yang mutlak dan abadi, namun relatif dan dinamis. Ortodoksi atau mainstream adalah faham yang dianut mayoritas umat atau lebih tepat, mayoritas ulama; dan lebih tepat lagi, golongan ulama yang dominan. Sebagaimana diketahui, sepanjang sejarah Islam telah terjadi berbagai pergeseran dalam faham dominan - pergeseran yang tidak lepas dari situasi politik. Dalam banyak hal, ortodoksi adalah faham yang didukung oleh penguasa, sedangkan faham yang tidak disetujui dicap sesat; gerakan sempalan seringkali merupakan penolakan faham dominan dan sekaligus merupakan protes sosial atau politik.

Islam sebuah Bingkai Peradaban

Memahami Islam dalam bingkai peradaban bukan terletak pada kebenaran sepihak dan klaim, jauh lebih dari itu peradaban yang dimaknai, dan bermanfaat dalam konteks kekini-an. Islam menurut Cak Nur adalah agama modern, agama yang mampu mengakomodir perubahan-perubahan, baik perubahan sosial, politik, budaya ataupun yang lainnya. Di samping itu Islam adalah agama kemanusiaan yang menggunakan akal dengan sebaik-baiknya, dan sebaik-baiknya manusia bekerja keras menjelaskan berdasarkan nalar (akal). Ali Harb menyebutnya sebagai hijab (tabir); di mana nalar satu menghalangi, menutupi, mengalahkan atau bahkan menghegemoni nalar yang lain. Hasilnya manusia yang bernalar (berakal), maka secara otomatis terlepas dari nalar (akal) kebinatangan dan kebodohan.

Islam dalam konteks kekinian tidak sekedar menjalankan syari’at Islam dengan mengatas namakan pengamalan Tuhan dan Muhammad sebagai tauladannya. Islam adalah sikap pasrah dan tunduk kepada ciptaannya, siapa saja yang tidak tunduk kepada ciptaanya berarti melawan design Allah, karena Islam yang dibatasi oleh ruang dan waktu, sebagaimana dikatakan Ibnu Taymiyah. Memaknai Islam ikhlas itulah hakikat Islam yang sebenarnya, sikap menyerah pasrah kepada Allah tidak kepada yang lain, seperti budak yang dimiliki bersama yang berselisih akan berbeda sekali dengan budak yang dimiliki satu orang namun penuh dengan ketaatan. Tuhan-tuhan yang disembah mengindikasikan sang penyembah tidak memberikan kepasrahan sempurna dibanding dengan Tuhan yang Maha Esa.

Dengan begitu kita bisa mengartikulasikan tuhan yang kita anggap dan disembah bukan seperti dikatakan Nietzsche ”Kita telah membunuh Tuhan-kalian dan aku. Kita semua adalah pembunuhnya”.kita sepakati bahwa tuhan telah mati dan kita yang membunuh tuhan yang umum itu dan menghidupkan Tuhan yang khusus, bukan yang selainnya.

Pondasi Islam secara keseluruhan adalah persaksian bahwa tiada tuhan selain Allah merupkan bentukan pengabdian yang tak terpisahkan kepada Tuhan yang maha Esa dengan mengembalikan arti tuhan yang sesungguhnya, Allah dan Tuhan dimaknai dengan khusus secara substansial dan potensial adalah tidak ada yang berbeda. Cara memahami, berpikir berangkat dari perbedaan itu lahir dari ortodoksi Islam.

Jelas, menurut Cak Nur, Islam adalah universal yang tidak dapat disangkal dengan mengutip al Qur’an “Kami (Tuhan) tidak mengutus engkau (Muhammad) kecuali untuk seluruh umat manusia sebagai kabar gembira dan ancaman. Islam dijelaskan, dijalankan melalui mediasi pengamalan dan pengalaman berdasarkan pada penggunaan nalar (akal) hingga memahami ciptaan Tuhan dengan menundukan dan sepenuhnya pasrah kepada design-Nya sebuah bingkai peradaban

------------------------------------

*Ditulis oleh Aat Royhatudin, tutor paket B dan sekretaris BLC (Banten Learning Center)

Selasa, 13 Mei 2008

UNTUKMU, YANG SETIA

perlahan, kupelan langkahku menatap awan, mencari diriku yang hilang, kosong, karena setelah lama sudah dilupakan dan dibiarkan meski ini sering terjadi , mengharap terlalu melampaui karena mendambakan seseorang yang setia, dan bertahan ini diingatkan kembali dengan lagu wali , yang mengingatkan suaranya kepada kenangan. setia di saat menemani sampai tua, bertahan hingga mati menjadi suci.
nikmati dan biarkan dirimu mengenang.

WALI BAND

dik

Intro: E

E C#m F#m B
dik, aku pinta kau akan slalu setia
E C#m F#m B
dik, aku mohon kau slalu menemani
C#m A B
Saat ku tengah terluka
C#m A B
Kala ku tengah gundah

Chorus

C#m A
Ku akan menjagamu
B E
Di bangun dan tidurmu
A B E G#
Di semua mimpi dan nyatamu
C#m A
Ku akan menjagamu
B E
Tuk hidup dan matiku
A F#m B
Tak ingin, tak ingin kau rapuh

E C#m F#m B
dik, jangan engkau pergi tinggalkan aku
E C#m F#m B
dik, ingin aku cinta dan cinta slalu
C#m A B
Saat kau tengah terluka
C#m A B
Kala kau tengah gundah

Interlude: C#m A B B 2x

C#m A
Kau akan menjagaku
B E
Di bangun dan tidurku
A B E G#
Di semua mimpi dan nyataku
C#m A
Kau akan menjagaku
B E
Tuk hidup dan matiku
A F#m B
Tak ingin, tak ingin kau rapuh

Senin, 05 Mei 2008

AKU BENCI GURUKU


************

Pagi-pagi sekali terlihat cerah, secerah langit biru, suara burung berkicau menikmati keindahan, kukuruyuk suara ayam mewarnai perkampungan dalam suasana pagi, mencari rizki, anak-anak sekolah berlalu-lalang, ada yang bergandengan tangan sesama teman, bercanda, dan ada yang sambil makan dan tetap berjalan. Keramaian desa di pagi hari sepanjang jalan menghiasi trotoar seperti kota-kota berjibaku dengan orang-orang yang berlalu-lalang.

Wajah-wajah kesegaran penuh kebahagiaan seakan menyinari di hari pagi, kusam kusut penuh keruwetan seolah menerpa di siang hari, kerut kening penuh kelelahan seperti biasanya menawarkan kemarahan di sore petang. Adalah cakrawala dunia profesi, yang disibukkan dengan pekerjaan. Adalah dunia kesombongan yang mengutamakan individu. Adalah keegoan yang menghapuskan kecintaan. Adalah kemandirian yang menghancurkan ketergantungan. Adalah kebebasan yang meniadakan keterasingan. Perbedaan adalah keserasian


*****************

Labuan, Banten di bulan akhir April. Malam. Dalam keluarga sedang berbicara, empat bersaudara ditemani seorang ibu seusia setengah baya, sedang menyampaikan pesan bahwa hidup adalah pilihan, kita yang menentukan. Orang yang dicintai, sebagai penanggung jawab, penentu kebijakan hilang selamanya, tidak ada dihadapan sejak dua bulan yang lalu tepat pada Januari 1993. seketika itu kebijakan dan tanggung jawab diserahkan pada anak pertama. Anak pertama adalah bentuk symbol ketauladanan. Anak pertama adalah sumber dan menjadi sentral perhatian bagi yang lainnya. Anak yang pertama menjadi andalan dan sumber inspirasi bagi yang lainnya.

“Aku sudah terlanjur sekolah pendidikan modern yang berada di Tasik dan sebentar lagi mau ujian” sahut kakakku mulai membicarakan soal tanggung jawab. “tapi jangan khawatir aku kan mendapat beasiswa, di samping itu aku akan mengajar sebagai tambahan, yang terpenting adalah kalian harus sekolah” nada kakakku berpesan. Tapi bagaimana dengan aku, apakah dilanjutkan? Sahut kakak yang ke-2 yang masih kelas 3 Madrasah Tsanawiyah setingkat SLTP, “terus bagaimana dengan aku”? Teriak kakaku yang ke-3 dengan bernada sedih, terus bagaimana dengan aku dan adik-adik kita? Ekspresi kesedihan masih menyelimuti dalam suasana hening setelah menyelenggarakan ritual 100 hari. (istilah jawa; nyatus) mengenang. “Sudah-sudah yang penting semua sekolah” teriakan kakaku lebih keras.

***********************

Rumah hampir rubuh seperti gubuk, di pinggir jalan, jalan lalu lintas menuju jalan kota. Karena keadaan rumah itu menumpang adanya. Sudah tak layak pakai menurut orang-orang, karena berada di pinggiran kota. Mewah, bagus dan bersih yang harus menempati pinggiran kota. Pagi sekali aku keluar rumah untuk sekolah yang tidak jauh jaraknya, sambil membawa dagangan. Berbeda dengan adikku kelas 4 yang selisih usianya 2 tahun, yang tidak mau berjualan karena merasa malu untuk seusianya dan sepermainan temannya, karena rata-rata temannya orang yang berada. Meski berjualan di tengah-tengah menggapai masa depan, tetap saja tidak bisa membantu dan menutupi keadaan. Biaya sekolah menurutku waktu itu sangat mahal hingga aku memutuskan lebih baik tidak sekolah dan belajar di rumah yang lebih banyak berjualan ketimbang belajarnya. Sekolah dulu dan sekarang berbeda. Benar-benar tidak diperhatikan, iuran bulanan telat, orang tua yang harus berhadapan, tiga hari berturut-turut tidak sekolah tanpa alasan langsung dikeluarkan. Rapih, bersih salah satu bentuk dan ciri kepribadian sehat dan pintar, menurut guruku berceloteh, menurutku tidak, guru yang lebih mengutamakan fisik, ketimbang akal adalah guru yang bodoh. Guru dan sekaligus wali kelas 5, Siti Komariah, namanya, salah satu guru yang getol dengan pesan penuh ejekan ”jangan sering makan daun singkong dan ikan asin, entar bodoh seperti kampung si udin ” pikirku guru ini belum pernah merasakan bagaimana nikmatnya, daun singkong dan ikan asin yang dilengkapi dengan sayur asem, ditambah lagi dengan jengkol dan sambal terasi, apalagi disantap di siang bolong. Kemudian pada akhirnya guru itu pindah dari kota ke kampungku yang paling banyak mengkonsumsi makanan yang penuh ejekan itu. Sepertinya nama dan kelasku selalu disebut karena aku termasuk murid yang pendiam tapi keras ketika berbicara dan kelihatannya bodoh. Sekolah pada masaku memang mengalami diskriminasi, terbukti ada pemisahan penilaian dan siswa namun dalam satu kelas. Dalam satu Kelas di dalamnya 1A, 1B, dan seterusnya. 1A adalah orang pilihan, orang kaya, pintar dan dari kota. 1B adalah sebaliknya, terdiri orang-orang bodoh, miskin dan jauh dari kota. Aku pernah bertanya waktu naik kelas 6, “Bu aku ingin termasuk 6A, keberanianku muncul karena aku sudah bosan dengan ejekan. Pengajuanku dibantah seketika, dengan mengatakan, “kamu ingin masuk ke 6A, gesper saja kamu pake tali rapia” sahut guru wali kelas 6 yang sama karakternya dengan wali kelas 5. Menurutku ini sudah keterlaluan, aku ingin melawan tapi tak berdaya, karena pesan bapaku “sebodoh-bodohnya guru adalah cahaya bagimu maka hormatilah”. Kemiskinan diabaikan namun kepandaian tidak diperhatikan. Sekolah dulu menciptakan orang-orang yang kaya tidak pandai dan tidak bisa, bukan merubah kemiskinan menjadi bisa dan pandai dan menjadi kaya.

Kemiskinan adalah ketidakberdayaan, kebodohan adalah kelemahan. Kekayaan adalah kekuatan, kepandaian adalah kebisaan. Miskin kaya, bodoh pandai sering bertengkar dan berlawanan, miskin bodoh identik dengan penghinaan, kaya pandai identik dengan pujian. Hal-hal seperti itulah yang sering berkembang dan muncul pada guru SD-ku.

**********************

Ditulis seketika oleh: Aat Royhatudin, ketika dengerin lagu mozart

Minggu, 04 Mei 2008

MASALAHMU ADALAH MASALAHKU


BERBAGAI masalah yang sudah terdata dalam pelaksanaan evaluasi nasional maupun daerah yang diselenggarakan pemerintah menunjukkan, pemerintah belum berhasil menggunakan kekuasaannya dengan bijak, seimbang, dan sesuai tanggung jawabnya. Berbagai persoalan lain (misalnya, tidak dipenuhinya alokasi anggaran 20 persen, belum diberlakukannya pendidikan dasar gratis, ambruknya bangunan-bangunan sekolah di banyak tempat, mutu pendidikan yang terus menurun) merupakan contoh kegagalan pemerintah dalam menunaikan tanggung jawabnya. Dalam konteks negara sedang mengalami krisis multidimensional, keterbatasan dan ketidakmampuan pemerintah sering diajukan kepada masyarakat untuk dipahami dan diterima. Bahkan, pemahaman dan penerimaan masyarakat diikuti dukungan dan partisipasi masyarakat untuk mengisi kekosongan. Misalnya, swadaya masyarakat dalam pengelolaan sekolah-sekolah swasta.

Seyogianya, kewajiban dan layanan publik oleh pemerintah berjalan seiring kekuasaan dan wewenang. Namun, ketika pemerintah tidak mampu menyediakan pendidikan bermutu secara gratis bagi tiap warga dan masyarakat mengambil alih peran pemerintah dalam pengelolaan sekolah secara swadaya, kekuasaan dan wewenang yang diberikan kepada masyarakat belum seimbang. Penyelenggaraan ujian akhir nasional (UAN) dan segala variannya di daerah menunjukkan betapa pemerintah masih ingin memegang wewenang dan menjadi alat kekuasaan untuk mengatur sekolah, "menghukum" sekolah dan siswa yang tidak mampu memenuhi kewajibannya.

Perlunya standardisasi dalam sistem pendidikan nasional bisa dipahami dan diterima. Jika evaluasi di akhir jenjang dilaksanakan di tingkat sekolah (UAS) dan penerimaan siswa baru dilaksanakan sekolah masing-masing, dikhawatirkan menimbulkan kesulitan dalam menetapkan standar mutu. Namun, evaluasi nasional maupun daerah yang bertahun-tahun diselenggarakan pemerintah ternyata belum menjawab kebutuhan standardisasi. Validitas, reliabilitas, dan prosedur administrasi (termasuk biaya) dari ujian-ujian yang diselenggarakan pemerintah masih diragukan.

Kompetensi yang belum sempurna pada lembaga penyelenggara tes harus bisa dipahami dan terima. Namun, kredibilitas dan integritas adalah dua syarat yang tidak bisa ditawar (tuntutan atas dua hal ini tampaknya mewarnai keresahan dan penolakan masyarakat terhadap UAN). Lembaga mandiri yang menyelenggarakan evaluasi dan standardisasi harus bebas KKN, bukan kepanjangan tangan pemerintah, siap diaudit, dan dikaji.

Dalam memenuhi tiga syarat utama itu, bisa saja ada keraguan terhadap kemampuan lembaga mandiri yang diserahi menyelenggarakan evaluasi dan standardisasi. Lembaga ini harus terus dimonitor dan diuji. Namun, ada perbedaan signifikan antara pemerintah dan lembaga mandiri sebagai penyelenggara. Ketika pemerintah menyelenggarakan UAN, sekolah tidak punya pilihan lain selain mematuhi meski ada keraguan terhadap mutu tes yang digunakan. Arogansi kekuasaan yang menyertai penyelenggaraannya menghambat tes yang digunakan untuk dikaji secara profesional dan bertanggung jawab. Akibatnya, tidak tampak adanya perbaikan mutu ujian nasional selama bertahun-tahun ini. Yang berganti hanya label, isi, dan penyelenggaraannya tidak berbeda dengan sebelumnya.

Dinamika antara peningkatan mutu instrumen evaluasi dan demokratisasi di masyarakat hanya bisa terjadi jika pemerintah berbesar hati untuk berbagi kekuasaan dan tanggung jawab dengan masyarakat. Masyarakat sudah mengkritisi agar proyek UAN tidak menjadi rutinitas "hajatan" nasional. Jika pemerintah bersikap arif, beritikad baik untuk memperbaiki kinerjanya, dan meraih kembali kepercayaan publik, para pejabat terkait perlu berpikir jauh melebihi masa jabatan masing-masing dan memperbaiki ketidakseimbangan antara kekuasaan dan pemenuhan kewajibannya.

Membaca tulisan Triyono, Ujian nasional tidak lebih sebuah proyek ritual yang begitu menakutkan, birokrasi Negara menempatkan UN sebagai upacara edukasi yang amat sacral, dan ini sebetulnya sudah mengarah kepada sucinya UN yang substansinya dan hingga akhirnya tidak memberikan apa-apa. Seperti penyembahan kepada berhala yang tidak memberikan manfaat apa-apa.

Sebagai berhala pendidikan, menurutnya, pendidikan yang diyakininya oleh Negara, semua sumber keuangan, kecerdasan, bahkan keamanan harus dipasrahkan kepada UN, tidak mengherankan bila dikatakan UN menciptakan kekerasan structural dalam tatanan birokrasi pendidikan. Kepala sekolah mewajibkan para guru melatih kognisi siswa dengan metode drill (pelatihan hanya dikenal dalam institusi militer) agar siswa mahir merespon soal-soal yang diujikan.

Merujuk pemikiran Francis Bacon (1561-1626) berhala dalam hal ini merupakan tipuan potensial atau sumber ketidakmengertian yang menyelubungi dan mengacaukan pengetahuan kita terhadap kenyataan ekstrenal.ada empat jenis berhala yang berkuasa. Pertama, berhala suku,yang berarti kelemahan dan kecenderungan yang secara alamiah ada dalam diri manusia. Contohnya pikiran penuh harap karena mnusia bertendensi menerima, meyakini, dan membuktikan hal yang lebih di sukai sebagai kebenaran Kedua, berhala gua yang di tunjukan distrosi, prasangka dan keyakinan akibat latar belakang keluarga, pengalaman, kelas sosial, dan sebagainya. Ketiga berhala arena pasar yang muncul dari kerja sama dan perpaduan antarmanusia seperti kosakata dan jargon-jargon dari komunitas akademi dan di siplin ilmu tertentu. Keempat, berhala drama merefleksikan peniruan kebenaran artifisal yang berasal dari gagasan yang di penuhi takhayul pemberhalan UN menunjukan betapa para penentu kebijakan hanya melandaskan pada kepentingan prefrensi sepihak. Selain itu, penerapan UN yang bersifat absolut didasar kan pengalaman partikular penjabat, slogan akademis akademis dari disiplin ilmu tertentu, dan gagasan yang tidak sudi membuka terhadap kebenaran alternatif

Ujian Nasional sebelum dan sekarang dan tidak ditolak yang akan datang, pasti banyak menuai kritik dari kalangan pemerhati pendidikan, guru, masyarakat dan terutama demonstrasi penolakan UAN oleh pelajar..

Pada awalnya, saya termasuk barisan orang yang mendukung UAN dengan hanya satu argumentasi yang mendasar, untuk mengetahui tingkat kualitas pendidikan secara nasional dan bla bla bla… Kemudian, kenyataan menampar saya dengan fakta-fakta yang sungguh menyakitkan. Setelah saya pertimbangkan masak-masak, akhirnya saya menyimpulkan UAN lebih banyak mudharatnya daripada manfaatnya. Berikut alasan-alasan saya menolak diadakannya UAN.

  1. UAN melahirkan ketakutan dan kekhawatiran massal, psikologis masyarakat jadi sakit karena dicekam ketakutan. Murid takut tak lulus, orang tau takut malu, Guru malu karena dianggap tak mampu dan tidak kredibel membekali anak didiknya dengan baik. Sekolah malu dianggap tak berkualitas karena siswanya ada yang tidak lulus. Akibatnya,
  2. UAN hanya akan melestarikan budaya ketakmandirian, budaya penjiplakan, budaya Copy-Paste. Siswa hanya akan dibodohi dengan menunggu jawaban dari langit saat mengerjakan UAN. Bisa dilihat dengan gamblang, bagaimana jawaban UAN tahun lalu bisa menyebar pada malamnya dan ada pula yang pagi hari menjelang ujian berlangsung via sms dan gratis pula. Semua sukar dibuktikan, tapi itulah pengakuan dari sekian banyak siswa baik murid saya maupun yang bukan murid saya. karena itulah, maka,
  3. Kemurnian Ujian Nasional sangat pantas dipertanyakan dan tak layak dijadikan standar patokan kualitas pendidikan nasional, dan karena sudah tak pantas dan tak layak, maka
  4. UAN hanya memboroskan dana APBN, akan lebih baik digunakan untuk memperbaiki infrastruktur pendidikan yang tak layak, dan
  5. Segudang alasan lain yang sangat banyak yang tak bisa saya sebutkan satu per satu, misal, sekolah 3 tahun cuma ditentukan 3 hari, orientasi siswa tak lagi keilmuan, tapi kelulusan dan lain-lain.
  6. UAN memicu tindakan kecurangan yang massif berskala nasional. Menjadikan banyak pihak terkait menghalalkan segala cara agar siswa lulus. Melahirkan praktik-praktik mafia di dunia pendidikan dengan mencuri soal dan menyebarkannya, baik komersil maupun tak komersil, baik perorangan maupun lembaga. Tak ada bukti kongkrit memang. Tapi, karena semua diuntungkan, hal ini menjadi 100% halal dan pastinya semua akan tutup mulut jika dikasuskan, atau mencari satu kambing hitam agar publik terpuaskan, jika memang perlu ada yang dihukum.
  7. UAN tidak lebih sebuah ritual yang terlembaga dan semua masyarkat Indonesia secara tidak sadar manganggap penting dan harus dilakukan
  8. UAN melahirkan Guru berbuat criminal dengan bekerja keras mengerjakan soal-soal, membodohi murid-murid seperti ritual tahunan yang menyembah berhala yang sama sekali tidak memberikan apa-apa, bahkan tidak tahu apa-apa.

Alhasil, maka saya punya sikap untuk menolak UAN dengan segala kekurangan dan kelebihannya. Saya menerima UAN dengan catatan, tidak menjadi penentu kelulusan siswa kalau hanya untuk mengetahui standar mutu pendidikan secara nasional.

Penolakan saya, terus terang tidak berdasarkan data-data valid dan kongkrit, kurang dilandasi dengan pertimbangan-pertimbangan rasional para akademisi dan para professor serta para pembuat kebijakan. Lebih sekedar pertimbangan emosional dan moral, berdasarkan kenyataan di lapangan yang tak dapat dibuktikan jika saya harus berhadapan dengan hukum positif. Percayalah, anda yang pro atau pun yang kontra, sama-sama memiliki keinginan baik untuk memajukan pendidikan bangsa ini.

Saya tunggu pesan anda!