Rabu, 23 April 2008

Pendidikan Yang membebaskan

Pendidikan sering kita pahami hanya pada seputar sekolah-sekolah, madrasah-madrasah, perguruan tinggi dan lain sebagainya. Namun sejatinya, pendidikan memiliki pengertian yang luas.
Dimana pun, kapanpun ketika berkumpul, ngobrol, diskusi itu sebetulnya mengandung arti pendidikan. Saya ingat ketika mengikuti kuliah umum yang disampaikan oleh Aqib Suwito, guru besar UIN Jakarta, bahwa tempat pendidikan yang efektif, mudah dicerna dan sederhana hanya bisa dilakukan “ketika kita ngobrol di warung kopi, dan tempat-tempat yang lainnya,”.hal demikian mengingatkan saya kepada teori public sphere, Jurgen Habermas, bahwa public sphere atau ruang publik merupakan media untuk mengomunikasikan informasi dan juga pandangan. Sebagaimana yang tergambarkan di Inggris dan Prancis, masyarakat bertemu, ngobrol, berdiskusi di warung kopi tentang buku baru yang terbit atau karya seni yang baru diciptakan. Dalam keadaan masyarakat bertemu dan berdebat akan sesuatu secara kritis maka akan terbentuk apa yang disebut dengan masyarakat madani.
Rata-rata kita mengasumsikan tempat atau ruang mengandung arti pendidikan adalah perpustakaan, tempat dimana memilliki aturan dan pengaturan, padahal perpustakaan tak lebih sekumpulan buku-buku yang menawarkan pencerahan dengan men-transfer informasi dari buku ke otak tanpa mengkritisi isi, kalau demikian adanya, apa bedanya dengan sekolah-sekolah, madrasah-madrasah, sekumpulan guru-guru dengan membawa buku-buku.

Keberadaan sekolah-sekolah, madrasah-madrasah, perpustakaan dan yang lainnya merupakan institusi penting sebagai tempat pembelajaran yang terus-menerus, beraturan, yang tanpa disadari kita mesti mengikuti aturan-aturan, tanpa ada kebebasan, kemerdekaan dan jauh dari kecintaan. Dan secara berkesinambungan mampu berjalan dan efektif secara formal dan menurut hemat saya, hal itu tidak lebih didasarkan pada kebutuhan individu masing-masing untuk mendapatkan “sesuatu” atau kepentingan lainnya, misalnya seorang murid atu pelajar datang ke sekolah mengikuti aturan, dan ingin mendapatkan ijazah, setelah itu, selesai. Begitu pun seorang guru atau ustadz membawa buku, mengikuti aturan yang berlaku, mentransfer ilmu, dan mendapatkan sesuatu, dan terus berlanjut. Itukah tujuan pendidikan dan seperti apa tempat pendidikan yang ideal itu?

Summerhill school adalah sekolah allternatif yang membebaskan, yang sebagian orang menganggap adalah sekolah tanpa aturan. AS. Neill orang kali dan pelaku pertama menerapkan system pendidikan yang membebaskan dari sekian lembaga pendidikan di kota Leiston, Suffolk London. Pendidikan untuk saat ini yang dibutuhkan adalah sebuah system dan orientasi yang jelas. Aktivis muda pendidikan, Bahrudin hampir mirip pemikirannya dengan Paulo Freiere dan AS. Neill, bahwa tinggi rendahnya kualitas pendidikan bukan tergantung pada mahal atau murahnya pendidikan pendidikan adalah kebebasan dimana di dalamnya, bisa bermain, belajar, mangkir tanpa ada aturan yang membuat kaku dan beku, karena pada dasarnya manusia itu baik dan tidak jahat, dan paling penting pendidikan harus bersifat partnerlisme, yakni tidak ada jurang pemisah antara guru dan murid. Pendidikan yang membebaskan, menurut saya memberikan hak sepenuhnya untuk mengerjakan sesuatu tanpa harus memaksakan sesuatu dengan kekuasaan tertentu dan membiarkan kesadaran tumbuh dengan sendirinya. Selama ini yang kita lihat adalah bagaimana anak itu harus menjadi dewa-dewa kecil, menjadi pengikut, penurut dan mendapat ijazah atau nilai yang memuaskan? sehingga dengan tak tersadarkan diri kita sudah terjebak pada lingkaran kesadaran magis secara sedernanya ketidakberdayaan dalam membongkar kesalahan sehingga ditutupi dengan cara melupakan, mengajak melupakan masa lalu yang menindas. Sedangkan kesadaran naif menganggap satu sebab hanya menghasilkan satu akibat yang benar, sebagaimana paulo freire menjelaskan.

Pendidikan yang membebaskan
Sedikit menyimpang awalnya dari persoalan karena tidak menerangkan pengertian pendidikan, dalam pendidikan yang membebaskan terlalu sederhana mendiskusikan masalah pengertian pendidikan. Sebagai analogi saja untuk mengawali seperti apa sih pendidikan yang membebaskan itu. Di buku pendidikan alat perlawanan yang ditulis oleh Hanif, dalam pengantarnya KH. Mahfuz Ridwan, Lc., mengatakan bahwa situasi penindasan yang mengungkung suatu masyarakat biasanya bertahan lama ketika agama mulai ditampilkan sebagai alat untuk melegitimasi situasi yang tidak manusiawi. Pesan itu pun kembali disuarakan oleh Muhaimin Iskandar dalam catatan epilognya dengan mengutip pendapat Karl Marx yang mengatakan bahwa agama adalah salah satu bentuk keterasingan manusia dari ketertindasan. Kegagalan agama untuk membawa pembebasan dari ketertindasan itu, telah menyebabkan agama menjadi candu rakyat yang tidak mampu memberikan solusi yang nyata bagi rakyat
Bermula dari analogi itulah untuk menggali kembali hakekat keberagamaan yang seharusnya ditampilkan oleh manusia beragama. Dengan memakai cermin praktek pendidikan yang membebaskan sebagaimana dilakukan oleh Paulo Freire di Brazil pada paruh 1960-an. Menurut Freire, pendidikan di Brazil (dan mungkin masih terjadi sampai kini di banyak negeri, termasuk Indonesia) ketika itu, telah menjadi alat penindasan dari kekuasaan untuk membiarkan rakyat dalam keterbelakangannya dan ketidaksadarannya bahwa ia telah menderita dan tertindas. "Pendidikan gaya Bank", dimana murid menjadi celengan dan guru adalah orang yang menabung, atau memasukkan uang ke celengan adalah gaya pendidikan yang telah melahirkan kontradiksi dalam hubungan guru dengan murid. Lebih lanjut dikatakan, "konsep pendidikan gaya bank juga memeliharanya (kontradiksi tersebut, pen) dan mempertajamnya, sehingga mengakibatkan terjadinya kebekuan berpikir dan tidak munculnya kesadaran kritis pada murid". Murid hanya mendengarkan, mencatat, menghapal dan mengulangi ungkapan-ungkapan yang disampaikan oleh guru, tanpa menyadari dan memahami arti dan makna yang sesungguhnya. Inilah yang disebut Freire sebagai kebudayaan bisu (the culture of silence).
Kesadaran kritis menjadi titik tolak pemikiran pembebasan Freire. Tanpa kesadaran kritis rakyat bahwa mereka sedang ditindas oleh kekuasaan, tak mungkin pembebasan itu dapat dilakukan. Karena itu, konsep pendidikan Freire ditujukan untuk membuka keran kesadaran kritis melalui pendampingan langsung.. Pendidikan pembebasan, menurut Freire adalah pendidikan yang membawa masyarakat dari kondisi "masyarakat kerucut" (submerged society) kepada masyarakat terbuka (open society).
Pendidikan yang membebaskan bukan hanya sekedar diskursus, hanya karena bukan produk Indonesia, hingga masyarakat makin mengkerucut, membeku dan berada semakin membisu. Namun yang krusial adalah bagaimana pendidikan itu bukan lagi menakut-nakuti, menindas, apalagi bersifat militeristik.
Penutup
Pendidikan membebaskan bukan berarti didefinisikan tanpa aturan. Kesepakatan adalah bentukan aturan yang menghasilkan peraturan. Kesepakatan adalah suara yang berharga berdasarkan tanpa berasal dari mana dan ia (suara) berada. Suara professor, suara tukang becak, suara guru, suara murid, suara orang tua, suara anak atau suara-suara yang lainnya yang itu sama dan berharga apabila ia terlibat di dalamnya.
Pendidikan, tempat pendidikan, pendidik dan terdidik adalah sinergi yang tak terpisahkan hingga mampu memberikan kebahagiaan penuh dengna kecintaan, berusaha mencurahkan wawasan dengan segala pengetahuan, dan mengangkat kebebasan tanpa paksaan adalah sebuah proses idealitas menjadi realitas, dari mimpi menjadi terbukti, yang baik menjadi lebih baik.
Pendidikan yang mencerdaskan bukan berarti membebaskan tanpa aturan. Memberikan kebebasan tak diawali dengan kecintaan adalah bukan pilihan untuk mencerdaskan. Pendidikan di Brazil dan Inggris tidak harus dijadikan model sebagai pembelajaran, yang jelas pemberian pengetahuan tanpa didasarkan penindasan inilah yang dimaksud dengan pendidikan yang mencerdaskan.

Tidak ada komentar: