Kamis, 24 April 2008

perempuan dalam peradaban

PEREMPUAN DALAM PERADABAN

Oleh : Aat Royhatudin*

Hari Kartini merupakan hari di mana perempuan Indonesia merasa diagungkan dan dihormati keberadaannya, seolah disakralkan. Perempuan kadang menghiasi diskusi dan perbincangan, dulu dan sampai saat ini. Pemaknaan perempuan bukan hanya dari sisi eksistensi atau tubuh saja namun lebih luas keberadaannya dikontekstualisasikan dalam kehidupannya. Perempuan dulu, saat ini, dan yang akan datang adalah tetap tidak ada dalam pembedaan, pembedaan yang ada adalah peradaban.

Dunia perempuan dalam Peradaban jahiliyah merupakan korban kebiadaban karena ketidakberdayaan, posisi direndahkan, dan hak hidup ditiadakan. Yunani yang terkenal dengan para filosofnya, popular dengan ilmu pengetahuannya, menghargai tinggi dengan peradabannya, jauh sebelum kedatangan Islam, perempuan dalam kehidupannya sangat direndahkan.

Beberapa peradaban yang pernah ada di dunia berpandangan berbeda-beda tentang perempuan. Tapi mengacu pada satu titik, yaitu 'pelecehan dan penghinaan' terhadap perempuan. Memandang perempuan dengan begitu keji dan hina. Perempuan yang subur akan dirampas dari suaminya untuk laki-laki lain demi kepentingan angkatan bersenjata. Sedangkan perempuan yang melahirkan bayi yang cacat, mereka akan dihukum mati.

Tidak ada bedanya dengan Yunani, peradaban India pun tak kalah kasar dalam memperlakukan perempuan. Perempuan yang ditinggal mati oleh suaminya harus ikut dibakar hidup-hidup bersama jasad sang suami. Jika dia tidak mau melakukannya, maka dia akan dianggap sampah masyarakat yang lebih hina dari binatang. Begitu pula Negara yang dijadikan rujukan oleh nabi Muhammad sebagai pusat pencarian pengetahuan masih saja menganggap perempuan paling rendah. Pepatah Cina yang dianggap menghilangkan eksistensi perempuan "sepuluh bidadari cantik tidak sebanding dengan seorang laki-laki tua yang bongkok".

Perempuan dalam dunianya memiliki banyak persoalan, mulai dari persoalan kehidupan pribadi seorang perempuan sampai kepada urusan di luar pribadi seorang perempuan, mulai dari masalah domestik sampai ke persoalan dunia international, dari urusan gaya hidup, seks sampai urusan politik masih ada dalam perdebatan.

Perempuan Islam

Konteks Perempuan Islam merupakan bagian bentuk ideal makhluk sempurna dari Tuhan. Perempuan Islam tidak disederhanakan pada konteks perempuan beragama Islam, atau dengan berjilbab, namun jauh lebih dari itu perempuan yang penuh dengan penghargaan terhadap diri sendiri, menjalankan hak hidupnya sesuai dengan syari’at Islam. Sehingga dikatakan oleh filsuf sekaligus sufi, Ibnu ‘Arabi, perempuan merupakan manifestasi Tuhan yang paling sempurna. Kesempurnaan yang dimiliki perempuan karena kemerdekaan dengan kebebasan yang mampu dipertanggungjawabkan di hadapan Tuhan. Kemudian al-Qur’an menyebutnya kedudukan perempuan diatur oleh Allah Swt secara proporsional sesuai dengan fitrah penciptaannya. Perempuan dan laki-laki sama dihadapan Syari'at tanpa ada perbedaan. "Sesungguhnya, laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyu', laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar" (QS. Al-Ahzab: 35).

Perempuan Islam tidaklah hanya pada seputar entitas monolitis. Banyak orang mungkin berpikir bahwa kalimat ini menyatakan sesuatu yang sudah tak perlu diperdebatkan lagi, namun penemuan-penemuan kejanggalan terhadap diri perempuan sering mengakibatkan ketidakadilan. Hal yang nyata, hukum yang tegas, aturan yang tepat sering diintepretasikan sepihak, ketentuan dan ketetapan yang mengandung banyak penafsiran dalam al Qur’an kadang dijadikan alasan untuk berbuat kesewenang-wenangan. Konsep konkrit dan luas yang mereka temui dalam al Qur’an tidak memiliki wujud yang tetap dalam pengejawantahannya dalam kehidupan orang-orang nyata, apalagi konsep yang abstrak, hal tersebut merupakan suatu hal yang tidak dapat dihindari, namun alasan dan motivasi di balik pemaknaan kadang jauh dari tujuannya.

Banyak pula orang beranggapan bahwa seorang perempuan yang tertutup, berjilbab, berkerudung, dan selalu berada di rumah adalah seorang perempuan yang baik, terlepas dari ketertekanan dan keterpaksaan. Pada kenyataannya, cerminan ketidaktahuan yang penuh prasangka terhadap keyakinan perempuan inilah yang menghambat, menghina, dan dalam sebuah lagak kepedulian yang diputarbalikkan dan penuh kemunafikan, justru merendahkan otonomi dan kecerdasan perempuan. Dalam konteks inilah peradaban dipahami, hanya orang-orang yang berilmulah yang takut (takwa) kepada Allah

Perempuan dalam konteks berperadaban memiliki arti luas, termasuk di dalamnya, penegakkan hukum yang adil, penghargaan terhadap ilmu menjadi tradisi keilmuan, dan pelaksanaan hak asasi manusia. Kesadaran seperti inilah orang bisa membangun kebersamaan, toleransi, keilmuan dan sikap saling menghargai

Dalam peradaban, wacana perempuan tidak bisa hanya sebatas diskursus, lebih dari itu diperlukan tindakan konkrit berupa kesiapan untuk menghargai, berekspresi, terutama perempuan itu sendiri dengan sekuat tenaga mempertahankan hidup dan menghargai dirinya sendiri.

Problema perempuan pada saat ini masih diperhadapkan dengan kendala psyikologis dalam hubungan peradaban-meskipun kita sering melihat di Indonesia sebagai bangsa yang toleran, sopan dan baik – namun ada saja berita yang yang menyedihkan salah satu sasarannya adalah perempuan.

Mencermati kemiskinan penghargaan terhadap perempuan, buah dari domestifikasi dan pembagian peran menurut jenis kelamin adalah pemandangan akrab bagi kita. Tidak ada cara lain selain bangkit menuju peradaban dan angkat pena sebagai tradisi dan kebudayaan. Pasalnya, kuatnya ideologi patriarki dalam bingkai peradaban, mesti ada pemikiran berbasis feminis, yang ramah dan menyapa perbedaan.

Adakah pemikir perempuan, sekaligus pejuang? Kalaupun ada itu masih bisa dihitung dengan jari. Untuk bangsa Indonesia masih kecil bila dibandingkan dengan laki-laki. Paling tidak terdapat sederetan tokoh; Kartini, Dewi Sartika, Cut Nyak Din, Musdah Mulya, Ratna Mega Wangi, Gadis Arivia, Zakiyyah Darajat, Hopipah Indah Pawangsa, Dee, Ayu Utami, Djenar Maesa Ayu, dan Nong Darol, dll.

Dengan demikian, mengangkat pena menjadi penting, bahkan sangat erat kaitannya dengan peradaban. Sejumlah orang besar seperti Carlyle, Kant, Mina Bean, Hanna, Fatima Mernissi, Aminah Wadud, Rifat Hasan sangat percaya dan meyakini penemuan tulisan benar-benar telah membentuk peradaban. Perempuan yang berperadaban adalah pilihan yang sangat diharapkan.

 
 
* Pemerhati Perempuan dan sekjend BLC (Banten Learning Centre)

Tidak ada komentar: