Senin, 05 Mei 2008

AKU BENCI GURUKU


************

Pagi-pagi sekali terlihat cerah, secerah langit biru, suara burung berkicau menikmati keindahan, kukuruyuk suara ayam mewarnai perkampungan dalam suasana pagi, mencari rizki, anak-anak sekolah berlalu-lalang, ada yang bergandengan tangan sesama teman, bercanda, dan ada yang sambil makan dan tetap berjalan. Keramaian desa di pagi hari sepanjang jalan menghiasi trotoar seperti kota-kota berjibaku dengan orang-orang yang berlalu-lalang.

Wajah-wajah kesegaran penuh kebahagiaan seakan menyinari di hari pagi, kusam kusut penuh keruwetan seolah menerpa di siang hari, kerut kening penuh kelelahan seperti biasanya menawarkan kemarahan di sore petang. Adalah cakrawala dunia profesi, yang disibukkan dengan pekerjaan. Adalah dunia kesombongan yang mengutamakan individu. Adalah keegoan yang menghapuskan kecintaan. Adalah kemandirian yang menghancurkan ketergantungan. Adalah kebebasan yang meniadakan keterasingan. Perbedaan adalah keserasian


*****************

Labuan, Banten di bulan akhir April. Malam. Dalam keluarga sedang berbicara, empat bersaudara ditemani seorang ibu seusia setengah baya, sedang menyampaikan pesan bahwa hidup adalah pilihan, kita yang menentukan. Orang yang dicintai, sebagai penanggung jawab, penentu kebijakan hilang selamanya, tidak ada dihadapan sejak dua bulan yang lalu tepat pada Januari 1993. seketika itu kebijakan dan tanggung jawab diserahkan pada anak pertama. Anak pertama adalah bentuk symbol ketauladanan. Anak pertama adalah sumber dan menjadi sentral perhatian bagi yang lainnya. Anak yang pertama menjadi andalan dan sumber inspirasi bagi yang lainnya.

“Aku sudah terlanjur sekolah pendidikan modern yang berada di Tasik dan sebentar lagi mau ujian” sahut kakakku mulai membicarakan soal tanggung jawab. “tapi jangan khawatir aku kan mendapat beasiswa, di samping itu aku akan mengajar sebagai tambahan, yang terpenting adalah kalian harus sekolah” nada kakakku berpesan. Tapi bagaimana dengan aku, apakah dilanjutkan? Sahut kakak yang ke-2 yang masih kelas 3 Madrasah Tsanawiyah setingkat SLTP, “terus bagaimana dengan aku”? Teriak kakaku yang ke-3 dengan bernada sedih, terus bagaimana dengan aku dan adik-adik kita? Ekspresi kesedihan masih menyelimuti dalam suasana hening setelah menyelenggarakan ritual 100 hari. (istilah jawa; nyatus) mengenang. “Sudah-sudah yang penting semua sekolah” teriakan kakaku lebih keras.

***********************

Rumah hampir rubuh seperti gubuk, di pinggir jalan, jalan lalu lintas menuju jalan kota. Karena keadaan rumah itu menumpang adanya. Sudah tak layak pakai menurut orang-orang, karena berada di pinggiran kota. Mewah, bagus dan bersih yang harus menempati pinggiran kota. Pagi sekali aku keluar rumah untuk sekolah yang tidak jauh jaraknya, sambil membawa dagangan. Berbeda dengan adikku kelas 4 yang selisih usianya 2 tahun, yang tidak mau berjualan karena merasa malu untuk seusianya dan sepermainan temannya, karena rata-rata temannya orang yang berada. Meski berjualan di tengah-tengah menggapai masa depan, tetap saja tidak bisa membantu dan menutupi keadaan. Biaya sekolah menurutku waktu itu sangat mahal hingga aku memutuskan lebih baik tidak sekolah dan belajar di rumah yang lebih banyak berjualan ketimbang belajarnya. Sekolah dulu dan sekarang berbeda. Benar-benar tidak diperhatikan, iuran bulanan telat, orang tua yang harus berhadapan, tiga hari berturut-turut tidak sekolah tanpa alasan langsung dikeluarkan. Rapih, bersih salah satu bentuk dan ciri kepribadian sehat dan pintar, menurut guruku berceloteh, menurutku tidak, guru yang lebih mengutamakan fisik, ketimbang akal adalah guru yang bodoh. Guru dan sekaligus wali kelas 5, Siti Komariah, namanya, salah satu guru yang getol dengan pesan penuh ejekan ”jangan sering makan daun singkong dan ikan asin, entar bodoh seperti kampung si udin ” pikirku guru ini belum pernah merasakan bagaimana nikmatnya, daun singkong dan ikan asin yang dilengkapi dengan sayur asem, ditambah lagi dengan jengkol dan sambal terasi, apalagi disantap di siang bolong. Kemudian pada akhirnya guru itu pindah dari kota ke kampungku yang paling banyak mengkonsumsi makanan yang penuh ejekan itu. Sepertinya nama dan kelasku selalu disebut karena aku termasuk murid yang pendiam tapi keras ketika berbicara dan kelihatannya bodoh. Sekolah pada masaku memang mengalami diskriminasi, terbukti ada pemisahan penilaian dan siswa namun dalam satu kelas. Dalam satu Kelas di dalamnya 1A, 1B, dan seterusnya. 1A adalah orang pilihan, orang kaya, pintar dan dari kota. 1B adalah sebaliknya, terdiri orang-orang bodoh, miskin dan jauh dari kota. Aku pernah bertanya waktu naik kelas 6, “Bu aku ingin termasuk 6A, keberanianku muncul karena aku sudah bosan dengan ejekan. Pengajuanku dibantah seketika, dengan mengatakan, “kamu ingin masuk ke 6A, gesper saja kamu pake tali rapia” sahut guru wali kelas 6 yang sama karakternya dengan wali kelas 5. Menurutku ini sudah keterlaluan, aku ingin melawan tapi tak berdaya, karena pesan bapaku “sebodoh-bodohnya guru adalah cahaya bagimu maka hormatilah”. Kemiskinan diabaikan namun kepandaian tidak diperhatikan. Sekolah dulu menciptakan orang-orang yang kaya tidak pandai dan tidak bisa, bukan merubah kemiskinan menjadi bisa dan pandai dan menjadi kaya.

Kemiskinan adalah ketidakberdayaan, kebodohan adalah kelemahan. Kekayaan adalah kekuatan, kepandaian adalah kebisaan. Miskin kaya, bodoh pandai sering bertengkar dan berlawanan, miskin bodoh identik dengan penghinaan, kaya pandai identik dengan pujian. Hal-hal seperti itulah yang sering berkembang dan muncul pada guru SD-ku.

**********************

Ditulis seketika oleh: Aat Royhatudin, ketika dengerin lagu mozart

Tidak ada komentar: