Minggu, 04 Mei 2008

MASALAHMU ADALAH MASALAHKU


BERBAGAI masalah yang sudah terdata dalam pelaksanaan evaluasi nasional maupun daerah yang diselenggarakan pemerintah menunjukkan, pemerintah belum berhasil menggunakan kekuasaannya dengan bijak, seimbang, dan sesuai tanggung jawabnya. Berbagai persoalan lain (misalnya, tidak dipenuhinya alokasi anggaran 20 persen, belum diberlakukannya pendidikan dasar gratis, ambruknya bangunan-bangunan sekolah di banyak tempat, mutu pendidikan yang terus menurun) merupakan contoh kegagalan pemerintah dalam menunaikan tanggung jawabnya. Dalam konteks negara sedang mengalami krisis multidimensional, keterbatasan dan ketidakmampuan pemerintah sering diajukan kepada masyarakat untuk dipahami dan diterima. Bahkan, pemahaman dan penerimaan masyarakat diikuti dukungan dan partisipasi masyarakat untuk mengisi kekosongan. Misalnya, swadaya masyarakat dalam pengelolaan sekolah-sekolah swasta.

Seyogianya, kewajiban dan layanan publik oleh pemerintah berjalan seiring kekuasaan dan wewenang. Namun, ketika pemerintah tidak mampu menyediakan pendidikan bermutu secara gratis bagi tiap warga dan masyarakat mengambil alih peran pemerintah dalam pengelolaan sekolah secara swadaya, kekuasaan dan wewenang yang diberikan kepada masyarakat belum seimbang. Penyelenggaraan ujian akhir nasional (UAN) dan segala variannya di daerah menunjukkan betapa pemerintah masih ingin memegang wewenang dan menjadi alat kekuasaan untuk mengatur sekolah, "menghukum" sekolah dan siswa yang tidak mampu memenuhi kewajibannya.

Perlunya standardisasi dalam sistem pendidikan nasional bisa dipahami dan diterima. Jika evaluasi di akhir jenjang dilaksanakan di tingkat sekolah (UAS) dan penerimaan siswa baru dilaksanakan sekolah masing-masing, dikhawatirkan menimbulkan kesulitan dalam menetapkan standar mutu. Namun, evaluasi nasional maupun daerah yang bertahun-tahun diselenggarakan pemerintah ternyata belum menjawab kebutuhan standardisasi. Validitas, reliabilitas, dan prosedur administrasi (termasuk biaya) dari ujian-ujian yang diselenggarakan pemerintah masih diragukan.

Kompetensi yang belum sempurna pada lembaga penyelenggara tes harus bisa dipahami dan terima. Namun, kredibilitas dan integritas adalah dua syarat yang tidak bisa ditawar (tuntutan atas dua hal ini tampaknya mewarnai keresahan dan penolakan masyarakat terhadap UAN). Lembaga mandiri yang menyelenggarakan evaluasi dan standardisasi harus bebas KKN, bukan kepanjangan tangan pemerintah, siap diaudit, dan dikaji.

Dalam memenuhi tiga syarat utama itu, bisa saja ada keraguan terhadap kemampuan lembaga mandiri yang diserahi menyelenggarakan evaluasi dan standardisasi. Lembaga ini harus terus dimonitor dan diuji. Namun, ada perbedaan signifikan antara pemerintah dan lembaga mandiri sebagai penyelenggara. Ketika pemerintah menyelenggarakan UAN, sekolah tidak punya pilihan lain selain mematuhi meski ada keraguan terhadap mutu tes yang digunakan. Arogansi kekuasaan yang menyertai penyelenggaraannya menghambat tes yang digunakan untuk dikaji secara profesional dan bertanggung jawab. Akibatnya, tidak tampak adanya perbaikan mutu ujian nasional selama bertahun-tahun ini. Yang berganti hanya label, isi, dan penyelenggaraannya tidak berbeda dengan sebelumnya.

Dinamika antara peningkatan mutu instrumen evaluasi dan demokratisasi di masyarakat hanya bisa terjadi jika pemerintah berbesar hati untuk berbagi kekuasaan dan tanggung jawab dengan masyarakat. Masyarakat sudah mengkritisi agar proyek UAN tidak menjadi rutinitas "hajatan" nasional. Jika pemerintah bersikap arif, beritikad baik untuk memperbaiki kinerjanya, dan meraih kembali kepercayaan publik, para pejabat terkait perlu berpikir jauh melebihi masa jabatan masing-masing dan memperbaiki ketidakseimbangan antara kekuasaan dan pemenuhan kewajibannya.

Membaca tulisan Triyono, Ujian nasional tidak lebih sebuah proyek ritual yang begitu menakutkan, birokrasi Negara menempatkan UN sebagai upacara edukasi yang amat sacral, dan ini sebetulnya sudah mengarah kepada sucinya UN yang substansinya dan hingga akhirnya tidak memberikan apa-apa. Seperti penyembahan kepada berhala yang tidak memberikan manfaat apa-apa.

Sebagai berhala pendidikan, menurutnya, pendidikan yang diyakininya oleh Negara, semua sumber keuangan, kecerdasan, bahkan keamanan harus dipasrahkan kepada UN, tidak mengherankan bila dikatakan UN menciptakan kekerasan structural dalam tatanan birokrasi pendidikan. Kepala sekolah mewajibkan para guru melatih kognisi siswa dengan metode drill (pelatihan hanya dikenal dalam institusi militer) agar siswa mahir merespon soal-soal yang diujikan.

Merujuk pemikiran Francis Bacon (1561-1626) berhala dalam hal ini merupakan tipuan potensial atau sumber ketidakmengertian yang menyelubungi dan mengacaukan pengetahuan kita terhadap kenyataan ekstrenal.ada empat jenis berhala yang berkuasa. Pertama, berhala suku,yang berarti kelemahan dan kecenderungan yang secara alamiah ada dalam diri manusia. Contohnya pikiran penuh harap karena mnusia bertendensi menerima, meyakini, dan membuktikan hal yang lebih di sukai sebagai kebenaran Kedua, berhala gua yang di tunjukan distrosi, prasangka dan keyakinan akibat latar belakang keluarga, pengalaman, kelas sosial, dan sebagainya. Ketiga berhala arena pasar yang muncul dari kerja sama dan perpaduan antarmanusia seperti kosakata dan jargon-jargon dari komunitas akademi dan di siplin ilmu tertentu. Keempat, berhala drama merefleksikan peniruan kebenaran artifisal yang berasal dari gagasan yang di penuhi takhayul pemberhalan UN menunjukan betapa para penentu kebijakan hanya melandaskan pada kepentingan prefrensi sepihak. Selain itu, penerapan UN yang bersifat absolut didasar kan pengalaman partikular penjabat, slogan akademis akademis dari disiplin ilmu tertentu, dan gagasan yang tidak sudi membuka terhadap kebenaran alternatif

Ujian Nasional sebelum dan sekarang dan tidak ditolak yang akan datang, pasti banyak menuai kritik dari kalangan pemerhati pendidikan, guru, masyarakat dan terutama demonstrasi penolakan UAN oleh pelajar..

Pada awalnya, saya termasuk barisan orang yang mendukung UAN dengan hanya satu argumentasi yang mendasar, untuk mengetahui tingkat kualitas pendidikan secara nasional dan bla bla bla… Kemudian, kenyataan menampar saya dengan fakta-fakta yang sungguh menyakitkan. Setelah saya pertimbangkan masak-masak, akhirnya saya menyimpulkan UAN lebih banyak mudharatnya daripada manfaatnya. Berikut alasan-alasan saya menolak diadakannya UAN.

  1. UAN melahirkan ketakutan dan kekhawatiran massal, psikologis masyarakat jadi sakit karena dicekam ketakutan. Murid takut tak lulus, orang tau takut malu, Guru malu karena dianggap tak mampu dan tidak kredibel membekali anak didiknya dengan baik. Sekolah malu dianggap tak berkualitas karena siswanya ada yang tidak lulus. Akibatnya,
  2. UAN hanya akan melestarikan budaya ketakmandirian, budaya penjiplakan, budaya Copy-Paste. Siswa hanya akan dibodohi dengan menunggu jawaban dari langit saat mengerjakan UAN. Bisa dilihat dengan gamblang, bagaimana jawaban UAN tahun lalu bisa menyebar pada malamnya dan ada pula yang pagi hari menjelang ujian berlangsung via sms dan gratis pula. Semua sukar dibuktikan, tapi itulah pengakuan dari sekian banyak siswa baik murid saya maupun yang bukan murid saya. karena itulah, maka,
  3. Kemurnian Ujian Nasional sangat pantas dipertanyakan dan tak layak dijadikan standar patokan kualitas pendidikan nasional, dan karena sudah tak pantas dan tak layak, maka
  4. UAN hanya memboroskan dana APBN, akan lebih baik digunakan untuk memperbaiki infrastruktur pendidikan yang tak layak, dan
  5. Segudang alasan lain yang sangat banyak yang tak bisa saya sebutkan satu per satu, misal, sekolah 3 tahun cuma ditentukan 3 hari, orientasi siswa tak lagi keilmuan, tapi kelulusan dan lain-lain.
  6. UAN memicu tindakan kecurangan yang massif berskala nasional. Menjadikan banyak pihak terkait menghalalkan segala cara agar siswa lulus. Melahirkan praktik-praktik mafia di dunia pendidikan dengan mencuri soal dan menyebarkannya, baik komersil maupun tak komersil, baik perorangan maupun lembaga. Tak ada bukti kongkrit memang. Tapi, karena semua diuntungkan, hal ini menjadi 100% halal dan pastinya semua akan tutup mulut jika dikasuskan, atau mencari satu kambing hitam agar publik terpuaskan, jika memang perlu ada yang dihukum.
  7. UAN tidak lebih sebuah ritual yang terlembaga dan semua masyarkat Indonesia secara tidak sadar manganggap penting dan harus dilakukan
  8. UAN melahirkan Guru berbuat criminal dengan bekerja keras mengerjakan soal-soal, membodohi murid-murid seperti ritual tahunan yang menyembah berhala yang sama sekali tidak memberikan apa-apa, bahkan tidak tahu apa-apa.

Alhasil, maka saya punya sikap untuk menolak UAN dengan segala kekurangan dan kelebihannya. Saya menerima UAN dengan catatan, tidak menjadi penentu kelulusan siswa kalau hanya untuk mengetahui standar mutu pendidikan secara nasional.

Penolakan saya, terus terang tidak berdasarkan data-data valid dan kongkrit, kurang dilandasi dengan pertimbangan-pertimbangan rasional para akademisi dan para professor serta para pembuat kebijakan. Lebih sekedar pertimbangan emosional dan moral, berdasarkan kenyataan di lapangan yang tak dapat dibuktikan jika saya harus berhadapan dengan hukum positif. Percayalah, anda yang pro atau pun yang kontra, sama-sama memiliki keinginan baik untuk memajukan pendidikan bangsa ini.

Saya tunggu pesan anda!

1 komentar:

Unknown mengatakan...

Iya seperti yang ada uraikan diatas, dengan mengkaji keadaan yang ada dilapangan ada baiknya jika mekanisme pencarian prestasi atau evaluasi Nasional dengan "Ujian Nasional" di KAJI ULANG.!!!
karena itu hanya mendatangkan kemadorotan semata, sementara nilai positifnya hampir tidak ada.
Terbukti dengan seringnya kebocoran soal, para siswa selalu mencari kunci jawaban, dan kebodohan-kebodohan lainnya yang hanya mendatangkan hal-hal negatif saja. . .